Debatbola.com – Berlutut sebelum laga hingga saat ini menjadi sebuah tradisi di Liga Inggris sebagai bentuk kampanye anti rasisme. Tetapi, karena tradisi ini dinilai kontroversial, ada kemungkinan tradisi berlutut ini bakal dihapus per musim depan. Benarkah tradisi anti rasisme ini bakal dihapus?
Tradisi yang Berlebihan
Liga Inggris dinilai banyak orang sebagai kompetisi terbaik di seluruh dunia, bukan cuma dari segi permainan di dalam lapangan, tetapi juga berbagai teknis di luar lapangan. Aksi solidaritas contohnya. Liga Inggris adalah liga yang cukup giat mengkampanyekan anti rasisme.
Semenjak tahun 2020, Liga Inggris melakukan sebuah tradisi unik, yakni berlutut sebelum laga, dan aksi ini ditujukan sebagai simbol anti rasisme. Gerakan ini merujuk pada peristiwa pembunuhan George Floyd. Aksi ini juga dilakukan di Piala FA dan Piala Liga.
Memang, gestur berlutut sebelum laga secara simbolis berarti menentang segala bentuk rasisme. Tetapi, banyak pihak beranggapan bahwa tradisi berlutut ini terlalu berlebihan. Alhasil, beberapa pemain, bahkan klub, ada yang menolak melakukan aksi ini sebelum berlaga.
Sheffield United menjadi klub yang pertama mengakhiri keikutsertaan mereka dalam melakukan aksi berlutut sebelum laga Liga Inggris. Selanjutnya, aksi ini diikuti oleh beberapa klub domestik, bahkan sejumlah pemain secara individu. Tak pelak, tradisi ini menuai kontroversi di seluruh Inggris.
Melanjutkan apa yang dilakukan Sheffield United, bintang Crystal Palace Wilfried Zaha ikut menolak tradisi berlutut. Diikuti oleh aksi bintang Chelsea Marcos Alonso yang juga melakukan hal serupa. Seperti yang disebutkan, para pemain ini mungkin merasa tradisi berlutut terlalu berlebihan.
Jalan Tengah Liga Inggris
Sebagai buntut dari kontroversi yang ditimbulkan, Liga Inggris akhirnya membuat keputusan. Melansir Sky Sports, saat ini, makin banyak pemain yang melakukan protes terhadap tradisi berlutut setiap menjelang pertandingan. Liga Inggris pun tampaknya ingin mengambil jalan tengah.
Menanggapi saran dari berbagai pihak, utamanya dari para pemain, Liga Inggris kini tidak akan lagi menggelar tradisi berlutut setiap sebelum memulai laga. Sebelumnya, setiap laga apapun akan dibuka dengan tradisi ini. Sekarang, tradisi berlutut hanya akan disiapkan untuk laga-laga tertentu.
20 kapten klub peserta Liga Inggris secara kolektif telah menyepakati bahwa tradisi berlutut seharusnya dilakukan cuma di laga-laga penting. Bukan dilakukan setiap sebelum memulai pertandingan seperti yang terjadi selama ini. Hal ini dimaksudkan agar tidak menghilangkan esensi tradisi itu sendiri.
Maheta Molango, kepala Professional Footballers’ Association mengatakan bahwa para kapten menetapkan keputusan ini demi menjaga keseimbangan. Mereka tidak ingin tradisi berlutut dilakukan secara rutin. Karena ini akan merusak esensi dan makna di balik tradisi itu sendiri.
“Sudah kami jelaskan bahwa keputusan untuk melakukan aksi berlutut adalah keputusan tiap individu pemain.” Kata Molango, mengutip via Sky Sports. “Kami sudah bicarakan pada para pemain. Mereka tidak ingin tradisi ini dilakukan rutin, karena itu bisa membuatnya kehilangan fungsinya.”
Keputusan Sudah Tepat?
Tidak dapat dipungkiri bahwa rasisme memang menjadi isu sensitif, terlebih di bidang sepakbola. Sudah tidak bisa dihitung berapa banyak kasus rasisme yang menimpa para bintang lapangan hijau. Tapi, bukan berarti tradisi seperti berlutut ini bisa dibenarkan untuk dilakukan terus menerus.
Mengkampanyekan sesuatu yang baik memang sah-sah saja, tetapi jika kampanye itu dilakukan terus, maka itu bisa menghilangkan esensinya. Lebih baik, tradisi itu dilakukan di momen-momen penting. Seperti di laga pembuka musim, derby, big match, laga penutup musim, atau partai final.